Tianlustiana.com - Sudah sejak awal film ini hadir, saya dan bestie rencana nonton namun belum juga terwujud, rasanya kami susah sekali menyamakan waktu luang. Kemarin, hari jumat sepulang kantor, tanpa rencana saya dan teman kantor baru langsung meluncur ke Ubertos untuk nonton, btw ini first time saya main ke Ubertos loh, maklum semenjak kerja daerah Bandung Timur ya mainnya kesini. Hehe.
Sebelum masuk ke bioskop, sambil menunggu kami ngobrol dan meyakinkan diri bahwa kami akan menangis ketika nonton film ini. Karena membaca sinopsis dan melihat review di tiktok pun ini film sedih dan sudah pasti menangis. Untuk hal yang berurusan dengan orangtua atau anak, saya paling nggak bisa.
Dan real banget setelah film selesai, mata kami sembab. Haha. Kami menangis sepanjang film. Jadi memang film ini sudah berhasil merefleksikan kehadiran sosok ibu, tentang gambaran peran seoarang ibu yang tidak pernah bisa tergantikan dalam keluarga. Jadi, buat teman - teman yang akan nonton film ini, jangan lupa bawa tissue yaaa.
Film "Bila Esok Ibu Tiada" ini diadaptasi dari novel yang best seller (novelnya belum saya baca huhuh) karya Nagiga Nur Ayati.
Genre drama keluarga, berdurasi kurang lebih 1,5 jam, dengan sutradara kondang Rudi Soedjarwo, hebatnya film ini memiliki aktor ternama, seperti Slamet Rahardjo (Haryo), Christine Hakim (Rahmi), Fedi nuril (Rangga), Adinia Wirasti (ranika), Amanda Manopo (Rania) dan Yasmin Napper (Hening). Menceritakan tentang keluarga yang sangat harmonis dan sederhana, peran orang tua yang memang sangat berpengaruh.
Semua berubah setelah kepergian pak Haryo
Awal film ini saja saya sudah nangis kejer, ketika pak Haryo sang kepala keluarga meninggal dunia, meninggalkan ibu Rahmi dan keempat anaknya. Kepergian seorang kepala keluarga yang sangat meninggalkan luka dalam pada sang ibu yang tetap harus terlihat tegar didepan keempat anak - anaknya, Ranika, Rania, Rangga dan Hening.
Seperti biasa, ibu Christine Hakim selalu berperan dengan sangat keren, menjiwai sekali sebagai ibu Rahmi. Seakan membawa kita para penonton masuk ke dalam dunia seorang ibu yang penuh pengorbanan. Tatapan mata ibu Rahmi yang sayu dengan senyuman khasnya yang tulus hingga "membisu" ketika anak - anaknya ada konflik, bukan tidak mau bicara namun ibu Rahmi seakan tidak mau memihak, karena keempat anak itu adalah anak - anak yang sangat ia sayangi.
Dalam film ini juga terlihat hubungan keluarga yang sangat harmonis, namun mendadak berubah ketika sang ayah meninggal. Ranika, anak sulung yang kemudian ambil kendali untuk terus berjalan dan melaju serta mengambil alih sebagai kepala keluarga serta menjadi tulang punggung bagi ibu dan adik - adiknya.
Seperti yang saya bilang, diawal saja sudah nangis ketika kepergian sang ayah. Emosi penonton langsung dimainkan sejak awal film ini. Konflik pun silih berganti diperlihatkan semenjak kepergian pak Haryo, begitupun tentang hubungan keluarga. Adu argumen kerap terjadi antar adik kakak.
Ranika, kakak perempuan paling besar yang nampak otoriter dimata adik - adiknya, sukses banget memberikan gambaran anak sulung yang selalu menyimpan dan memikul beban hidup sendirian dan selalu terlihat tegar padahal ia pun rapuh.
Ibu, yang selalu menyembunyikan kesedihan dan kesakitan. Ibu Rahmi menanggung rasa sakit yang makin parah, sendirian. Karena tak ingin anak - anaknya terbebani dengan kesehatannya. kerinduannya pada sang suami tak terbendung, karena selama ini bu Rahmi sangat tergantung pada suaminya, pak Haryo.
So far, film ini bagus. Namun sayang kenapa fokus pada konflik, tidak pada momen kebersamaan dalam keluarga. Namun setelah ibu meninggal baru nampak kehangatan antar adik kakak ini. Mungkin ini menandakan bahwa kepergian ibu sangat meninggalkan luka, penyesalan dan saling menyalahkan. Namun semua seakan meredam ketika ada filosofi seni kintsugi dari Jepang, sebuah seni memperbaiki keramik yang retak dengan emas, membuat pecahan - pecahan itu sebagai sebuah keindahan yang baru.
Retakan itu melambangkan ketidaksempurnaan, jadi meskipun dalam setiap keluarga itu ada masalah dan perbedaan karakter setiap anggota keluarga, namun ikatan keluarga harus selalu ada dan akan selalu ada. Harus belajar menerima ketidaksempurnaan.
Filosofi Kintsugi pada film ini sebagai pengingat bahwa hubungan yang renggang ini perlahan harus disambungkan, setelah kepergian orang tuanya. Ranika, Rangga, Rania dan Hening mereka pun paham bahwa dalam keluarga itu saling dukung dan saling memaafkan. Mereka harus makin erat setelah kepergian orang tua nya.
Pesan yang disampaikan melalui film Bila Esok Ibu Tiada ini jelas dan langsung bisa ditangkap oleh penonton. Sebagai seorang anak, harus ikut merenungi arti dari kehadiran sosok ibu, karena sering banget kita sibuk dengan urusan pribadi dan pekerjaan, sehingga lupa untuk meluangkan waktu bersama orangtua, hingga mereka pergi baru terasa kehilangan dan penyesalan.
Jujur, setelah keluar bioskop mata saya sembab haha karena beneran menyentuh emosi, apalagi teknik one take shot pada momen tertentu membuat makin emosional. Diawal saja sudah menyentuh emosi ketika makan malam keluarga pas ibu ulang tahun, membuat kita merasa ada dalam ruangan itu. Dan yang paling juara emang akting mereka, para aktor hebat dan profesional.
Gimana kalau menurut teman - teman, apakah film ini mengurasi emosi?
Yuk, sharing buat yang sudah nonton, kalau belum nonton dan tidak keburu nonton di bioskop biasanya suka ada di aplikasi nanti juga, hehe.
Sampai jumpa pada #reviewfilm selanjutnya,
Tian Lustiana